Rabu, 21 Desember 2016

Contoh Makalah Drama

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Apresiasi Sastra
            Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata - mata sebuah imitasi (dalam Luxemburg, 1989: 5). Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia.    
            Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa. Jadi, yang termasuk dalam kategori Sastra adalah: Novel cerita/cerpen (tertulis/lisan), syair, pantun, sandiwara/drama, lukisan/kaligrafi.
            Apresiasi adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra (Effendi, 2002). Oleh sebab itu, apresiasi sastra dapat dipahami sebagai usaha mempererat hubungan antara kita sebagai pembaca karya sastra dan karya sastra itu sendiri sehingga terjalin hubungan yang bersifat emosional, imajinatif, dan intelektual.
            (Rusyana, 1980) berpendapat bahwa, apresiasi itu keadaannya bertingkat-tingkat dari yang terendah hingga yang tertinggi. Apresiasi tingkat pertama terjadi apabila kita mengalami pengalaman yang tertuang di dalam karya sastra. Kita terlibat secara imajinatif, emosional, dan intelektual dengan karya sastra. Apresiasi tingkat kedua terjadi apabila daya intelektual kita bekerja lebih giat, misalnya dengan mencermati karya satra sebagai sebuah bangunan utuh yang di dalamnya terdiri atas paduan unsur-unsur. Apabila kita menyadari pula bahwa ada kaitan antara karya sastra dengan aspek-aspek di luarnya, misalnya dengan mengaitkannya pada aspek kehidupan, maka kita telah sampai pada tingkat tertinggi.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan drama?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan drama dan perkembangan drama di Indonesia?
3.      Apa saja unsur drama, struktur drama, ciri drama, kelengkapan drama, jenis drama, bagian pembantu drama?
4.      Bagaimana cara akting yang baik?
5.      Apa manfaat dari drama?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari drama sebagai karya sastra serta pengertian lain dari drama.
2.      Membantu mengetahui sejarah perkembangan drama di dunia serta perkembangannya di Indonesia.
3.      Membahas apa saja unsur, struktur,ciri, kelengkapan, jenis, serta bagian pembantu dari sebuah drama.
4.      Menginformasikan kepada anda bagaimana cara berakting dengan baik dan benar.
5.      Memberi tahu kepada anda akan manfaat dari drama.
  
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Drama
2.1.1  Pengertian Drama sebagai Karya Sastra
            Istilah drama datang dari khazanah kebudayaan Barat. Istilah drama berasal dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Krauss (1999: 249) dalam bukunya Verstehen und Gestalten, “drama adalah suatu bentuk gambaran seni yang datang dari nyanyian dan tarian ibadat Yunani kuno, yang di dalamnya dengan jelas terorganisasi dialog dramatis, sebuah konflik dan penyelesaiannya digambarkan di atas panggung”.
            Drama dikelompokkan sebagai karya sastra karena media yang dipergunakan untuk menyampaikan gagasan atau pikiran pengarangnya adalah bahasa (Budianta, dkk, 2002: 112). Pendapat lain yang memperkuat kedudukan drama sebagai karya sastra adalah bahwa drama termasuk ke dalam ragam sastra karena ceritanya bersifat imajinatif dalam bentuk naskah drama (Zulfahnur. dkk, 1996: 23).
            Ditilik dari segi bentuk, penulisan naskah drama sangat berbeda dengan jenis karya sastra lain. Drama menurut Budianta (2002: 95) adalah sebuah genre karya sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialog atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Bentuk verbal ini ditunjukkan oleh Marquaβ (1998: 9) dalam bukunya yang berjudul Dramentexte Analysieren, yakni sebagai berikut.
Oleh karena itu, teks drama dibagi menjadi Haupttext (teks utama) dan
Nebentext (teks pendamping). Haupttext adalah pembicaraan para tokoh,
yakni teks yang semestinya dikatakan para pemain selama pertunjukan di atas
panggung. Hal ini terdiri dari dialog (percakapan antara dua atau lebih tokoh)
dan terkadang monolog (berbicara dengan diri sendiri).
            Segers (2000: 25) menyampaikan sebuah definisi kerja teks sastra adalah seperangkat tanda-tanda verbal yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur, serta fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca. Jadi, berdasarkan pengertian-pengertian di atas, jelas bahwa drama memenuhi hakikatnya sebagai karya sastra.

2.1.2  Pengertian Lain dari Drama
           
            Kata drama berasal dari kata Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagainya, jadi drama berarti perbuatan atau tindakan (Hasanuddin, 1996: 2). Drama adalah kesenian yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan action dan perilaku (Hasanuddin, 1996:2).
            Adapun istilah lain drama berasal dari kata drame, sebuah kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yang lebih ketat, sebuah drama adalah lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting – meskipun mungkin berakhir dengan bahagia atau tidak bahagia – tapi tidak bertujuan mengagungkan tragedi. Bagaimanapun juga, dalam jagat modern, istilah drama sering diperluas sehingga mencakup semua lakon serius, termasuk didalamnya tragedi dan lakon absurd.
            Drama adalah satu bentuk lakon seni yang bercerita lewat percakapan dan action tokoh-tokohnya. Akan tetapi, percakapan atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai pengertian action. Meskipun merupakan satu bentuk kesusastraan, cara penyajian drama berbeda dari bentuk kekusastraan lainnya. Novel, cerpen dan balada masing-masing menceritakan kisah yang melibatkan tokoh-tokoh lewat kombinasi antara dialog dan narasi, dan merupakan karya sastra yang dicetak. Sebuah drama hanya terdiri atas dialog, mungkin ada semacam penjelasannya, tapi hanya berisi petunjuk pementasan untuk dijadikan pedoman oleh sutradara. Oleh para ahli, dialog dan tokoh itu disebut hauptext atau teks utama, petunjuk pementasannya disebut nebentext atau tek sampingan.
Contoh:
Chaterina :( bergegas masuk, membawa berita bagus ) Raina ! ( ia mengucapkan Raina, dengan tekanan pada i ) Raina ! ( ia menunju ke tempat tidur, berharap menemukan Raina disitu ) Mengapa, di mana….! ( Raina menoleh kedalam ruangan).

2.2  Sejarah Drama
            Dilihat dari mulanya, drama berakar dari suatu ritual keagamaan. Dalam ritual tersebut banyak menggunakan suatu bentuk-bentuk pertunjukanyang seakan-akan dipertontonkan.  Baik di barat maupun di Indonesia, dapat dikatakan cikal bakal drama bermula dari suatu ritual keagamaan. Hanya saja di barat ritualnya lebih kental dengan unsur penceritaannya, sedangkan di Indonesia lebih menekankan unsur kepuitisannya dalam gaya mantranya.
            Sebuah buku yang berjudul A History of the theatre menunjukan pada kita bahwa pemujaan pada Dionisus, yang kelak diubah kedalam festival drama di Yunani, berasal dari Mesir Kuno. Tek Piramid yang bertanggal 4000SM. Adalah naskah Abydos Passion Play yang terkenal. Tentu saja para pakar masih meragukan apakah teks itu drama atau bukan sebelum Gaston Maspero menunjukan bahwa dalam teks tersebut ada petunjuk action dan indikasi berbagai tokohnya.
Ada tiga macam teori yang mempersoalkan asal mula drama. Menurut Brockett, drama mungkin telah berkembang dari upacara relijius primitif yang dipentaskan untuk minta pertolonga dari Dewa. Upacara ini mengandung banyak benih drama. Para pendeta sering memerankan mahluk superaalami atau binatang; dan kadang – kadang meniru action berburu, misalnya. Kisah-kisah berkembang sekitar beberapa ritus dan tetap hidup bahkan setelah upacara itu sendiri sudah tidak diadakan lagi. Kelak mite-mite itu merupakan dasar dari banyak drama.
Teori kedua memberi kesan bahwa himne pujian dinyanyikan bersama didepan makam seorang pahlawan. Pembicara memisahkan diri dari koor dan memperagakan perbuatan-perbuatan dalam kehidupan almarhum pahlawan itu. Bagian yang diperagakan makin lama makin rumit dan koor tidak dipakai lagi. Seorang kritisi memberi kesan bahwa sementara koor makinlama makin kurang penting, muncul pembicara lain. Dialog mulai terjadi ketika ada dua pembicara diatas panggung.
Teori ketiga memberi kesan bahwa drama tumbuh dari kecintaan manusia untuk bercerita. Kisah – kisah yang diceritakan disekeliling api perkemahan menciptakan kembali kisah – kisah perburuan atau peperangan, atau perbuatan gagah seorang pahlawan yang telah gugur. Ketiga teaori itu merupakan cikal-bakal drama. Meskipun tak seorang pun merasa pasti mana yang terbaik, harus diingat bahwa ketiganya membicarakan tentang action. Konon, action adalah intisari dari seni pertunjukan.

2.3  Unsur Drama
            Unsur drama meliputi:
1.    Tema : pikiran pokok yang mendasari lakon drama.
2.    Plot : rangkaian peristiwa atau jalan cerita drama.
3.    Bahasa : bahasa sebagai bahan dasar diolah untuk menghasilkan naskah drama. Karena itu, penulis lakon harus mengetahui berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa.
4.    Setting : tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu adegan.
5.    Amanat : pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca naskah atau penonton drama.
6.    Hal mendasar yang membedakan antara karya sastra puisi, prosa, dan drama adalah pada bagian dialog. Dialog adalah komunikasi antar tokoh yang dapat dilihat dalam bentuk drama pementasan.
Dialog : jalan cerita lakon drama diwujudkan melalui dialog dan gerak yang dilakukan para pemain.
7.    Karakter: karakter atau perwatakan adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa seorang tokoh dalam lakon drama.
8.    Interpretasi : penulis lakon selalu memanfaatkan kehidupan masyarakat sebagai sumber gagasan dalam menulis cerita. Lakon drama sebenarnya adalah bagian kehidupan masyarakat yang diangkat ke punggung oleh para seniman.

2.4  Struktur Drama
Seorang Aristoteles, filsuf Yunani yang hidup sekitar 300 S.M. telah menulis Poetics. Untuk mengenali plot, karakter, pikiran, diksi, musik dan spektakel dari tragedi. Kelak identifikasi itu dianggap sebagai falsafah dasar dari strukturalisme yang oleh T.S. Eliot disebut the Formalistick Approach.
Strukturdramatik antara lain meliputi:
Eksposisi : Isinya pemaparan masalah utama atau konflik utama yang berkaitan dengan posisi diametral antara protagonis dan antagonis.
Hasil akhir : Antagonis berhasil menghimpun kekuatan yang lebih dominan.


Raising Action : Isinya menggambarkan pertentangan kepentingan antar tokoh.
Hasil akhir : Protagonis tidak berhasil melemahkan Antagonis. Antagonis mengancam kedudukan Protagonis. Krisis diawali.

Complication :Isinya perumitan pertentangan dengan hadirnya konflik sekunder. Pertentangan meruncing dan meluas, melibatkan sekutu kedua kekuatan yang berseteru.
Hasil akhir : Antagonis dan sekutunya memenangkan pertentangan. Kubu protagonis tersudut.

Klimaks : Isinya jatuhnya korban dari kubu Protagonis, juga korban dari kubu Antagonis.
Hasil akhir : Peristiwa-peristiwa tragis dan menimbulkan dampak besar bagi perimbangan kekuatan antar kubu.

Resolusi : Isinya hadirnya tokoh penyelamat, bisa muncul dari kubu protagonis atau tokoh baru yang berfungsi sebagai penyatu kekuatan kekuatan konflik, sehingga situasi yang kosmotik dapat tercipta kembali. Pada tahap ini, pesan moral disampaikan, yang biasanya berupa solusi moral yang berkaitan dengan tema atau konflik yang sudah diusung.

Berikut contoh penggunaan struktur drama dalam Drama Romeo Juliet.
Pada awal plot kita ada eksposisi. Ini memberi penonton informasi yang diperlukan tentang peristiwa sebelumnya, situasi sekarang atau tokoh-tokohnya. Dalam kebanyakan lakon, sudah sejak awal pengarang memberi tekanan kepada satu pertanyaan atau konplik penting. Pada awal kisah Romeo and Juliet, Shakespeare telah menyajikan pertengkaran antara Sampson, Gregory lawan Baltazar dan Abraham, satu penjelasan yang memberi ‘Leitmotive’ kepada tema, konplik dan rekonsiliasinya.
Gregory : Anda berkelahi, ya ?
Abraham : Berkelahi? Ah, ngak, nggak!
Sampson : Tapi kalau ya, saya memihak anda, saya mengabdi sebaik anda
Abraham : ah, tak akan lebih baik.
Sampson : Baiklah
Gregory : (kesamping kepada Sampson, melihat Tybalt keluar panggung)
Katakanlah lebih baik. Itu salah satu dari orang majikanku datang.
Sampson : Ya, lebih baik.
Abraham : Bohong!
Sampson : Cabut pedangmu, kalau kamu lelaki. Gregory, ingat hantamanmu.
( mereka berkelahi ).
Dialog diatas menciptakan suasana babak itu dan suatu pelukisan singkat tapi lengkap tenatang konplik antara keluarga Montague versus keluarga Capulet yang akan menimbulkan bencana itu.
Terkadang juga ada eksposisi tentang tokoh-tokoh. Sebuah film berjudul Jango versus Santana dapat dijadikan contoh. Film itu dimulai dengan sebuah pemandangan. Sebidang tanah tandus dengan pohon-pohon kaktus tumbuh disana-sini. Sementara fokus kamera bergerak kearah kanan, seorang lelaki dengan baju kotor dan basah kuyup tampak berlutut didepan sebuah makam. Lelaki itu berdiri dan kamera mengambil gambarnya dalam teknik medium. Posisi enface memberikan gambaran jelas tokoh itu. Ia tak mengalami kemalangan, tapi ia menghadapinya dengan tegar. Pelukisan singkat tapi hampir lengkap dari tokoh tersebut memberi titik awal yang jelas untuk memulai film itu.
Dalam eksposisi itu, unsur-unsur konpliknya statis. Melalui satu insiden yang merangsang maka action mulai bergerak. Disini konflik dramatik besar mulai jelas menyatukan kejadian – kejadian dalam lakon itu. Insiden yang merangsang dalam Romeo and Juliet tampak ketika Tybalt mengenali Romeo dan ingin menantang berkelahi. Presiden dari stimulasi itu terjadi ketika inang memberi tahu Juliet bahwa Romeo adalah anggota keluarga Montague. Unsur statis dalam eksposisi itu mulai bergerak dan konflik sehari-hari antara Sampson versus Abraham makin lama makin menjadi makin serius. ( Babak I ) timbul serentetan konflik ketika Romeo membocorkan rahasianya kepada teman-temannya, memanjat tembok kebun keluarga Capulet, dan menunggu Juliet muncul dijendelanya waktu gadis itu muncul, keduanya saling mengungkapkan cinta dan memutuskan untuk kawin lari ( Babak II). Makin lama lakon itu makin tegang sampai pendeta sampai pendeta Laurence berharap, setelah menyeleggarakan upacara pernikahan, pertikaian antara keluarga itu akan berakhir dan Romeo berpendapat begitu. Kisah cinta sederhana antara pemuda dan pemudi itu sekarang berkembang menjadi idealisme yang melibatkan masalah besar yang dihadapi kedua orang tua itu. Tidak diragukan bahwa konflikasi tersebut menuju suatu krisi, satu titik balik ketika informasi yang sebelumnya dirahasiakan sedikit sebagian terungkap dan masalah dramatik itu bisa dijawab.
Meskipun Juliet sudah menikah dengan Romeo, ia tidak berterus terang pada ayahnya. Oleh karenanya itu, Capulet tetap menjalankan rencananya untuk menikahkan Juliet dengan Paris. Karena pernikahan akan berlangsung pada hari kamis, pendeta Laurence mengusulkan agar pada hari rabu Juliet harus menelan ramuan yang akan membuatnya mati suri; sementara Laurence akan mengirimkan pesan pada Romeo untuk menyelamatkan Juliet dari makam keluarga Capulet, karena ia merasa yakin gadis itu akan dimakamkan disana. Capulet, karena ditentang oleh putrinya, memutuskan untuk mengajukan pernikahan itu sehari. Rencana itu membuat Juliet harus segera mereguk racun tadi. Agar rencananya tidak terhalang, ia menyuruh inang keluar dan tanpa pikir panjang langsung mereguk racun tadi. Paginya inang menemukan Juliet sudah tak bernyawa. Laurence dan Paris tiba; tapi upacara pernikahan harus diubah menjadi upacara pemakaman ( Babak IV ).
Bagian terakhir dari lakon itu, sering disebut resolusi, berkembang dari krisis sampai tirai ditutup untuk terakhir kalinya. Ini terkadang mengumpulkan berbagai alur action dan membawa situasinya ke suatu keseimbangan baru, dengan demikian hasilnya bisa jadi memuaskan, tapi mungkin juga mengecewakan harapan penonton.
Karena tidak tahu bahwa Jliet hanya kelihatannya mati, Balthazar tiba di Mantua sebelum pendeta tiba dan memberi tahukan tentang kematian Juliet. Mendengar itu Romeo membeli racun untuk bunuh diri dimakam Juliet. Setelah membunuh Paris, Romeo mereguk racun itu. Ketika terjaga, Juliet menemukan Romeo yang sudah mati dan bunuh diri. Pertikaian kedua keluarga itu berakhir di atas dua kekasih yang sudah mati ( Babak V )

2.5  Ciri-ciri Drama
            Satu hal yang menjadi ciri drama adalah bahwa semua kemungkinan itu harus disampaikan dalam bentuk dialog-dialog dari para tokoh. Akibat dari hal inilah maka seandainya seorang pembaca yang membaca suatu teks drama tanpa menyaksikan pementasan drama tersebut mau tidak mau harus membayangkan alur peristiwa di atas pentas. Pengarang pada prinsipnya memperhitungkan kesempatan ataupun pembatasan khusus akibat orientasi pementasan. Maksudnya bagaimanapun pengarang drama telah memilih banyak bahasa sebagai ciri utama drama inilah yang memberikan pembatasan yang dimaksud. Kelebihan drama dibandingkan dengan genre fiksi dan genre puisi terletak pada pementasannya. Penikmat akan menyaksikan langsung pengalaman yang diungkapkan pengarang. Penikmat benar-benar “menyaksikan” peristiwa yang di panggung. Akibatnya terhadap penikmat akan lebih mendalam, lebih pekat, dan lebih intens.
            Ciri lain adalah drama dibangun dan dibentuk oleh unsur-unsur sebagaimana terlihat dalam genre sastra lainnya terutama fiksi. Secara umum sebagaimana fiksi terdapat unsur yang membentuk dan membangun dari dalam karya itu sendiri (intrinsik) dan unsur yang mempengaruhi penciptaan karya yang tentunya berasal dari luar karya (ekstrinsik). Kekreativitasan pengarang dan unsur realitas objektif (kenyataan semesta) sebagai unsur ekstrinsik mempengaruhi penciptaan drama. Sedangkan deari dalam karya itu sendiri cerita dibentuk oleh unsur-unsur penokohan, alur, latar, konflik-konflik, tema dan amanat, serta aspek gaya bahasa. Selain itu, ada tiga unsur yang merupakan satu kesatuan menyebakan drama dapat dipertunjukan, yaitu unsur naskah, unsur pementasan dan unsur penonton. Pada unsur pementasan terurai lagi atas beberapa bagian misalnya komposisi pentas, tata busana, tata rias, pencahayaan, dan tata suara.

2.6  Kelengkapan Drama
            Hal yang harus dipersiapkan dalam membuat sebuah drama yaitu:
Ø  Naskah drama : skrip yang dijadikan panduan pemain sebelum pentas.
Ø  Penulis naskah : orang yang menulis skenario dan dialog dalam bentuk jadi naskah drama
Ø  Sutradara : orang yang memimpin atau yang mengatur suatu kelompok drama.
Ø  Pemain : orang yang berperan melakonkan cerita
Ø  Lighting : pengatur cahaya dalam pementasan
Ø  Tata busana/make up : bagian kelengkapan drama yang bertugas merias dan memakaian propertis pakaian
Ø  Tata suara : pengatur suara untuk memunculkan efek tertentu dalam pementasan
Ø  Tata panggung : kelengkapan drama yang mengatur latar setiap adegan
Ø  Panggung : tempat bagi pemain untuk melakonkan cerita

2.7  Jenis-jenis Drama
Drama menurut masanya dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu drama baru dan drama lama.
1.      Drama Baru / Drama Modern
Drama baru adalah drama yang memiliki tujuan untuk memberikan pendidikan kepada mesyarakat yang umumnya bertema kehidupan manusia sehari-hari.
2.      Drama Lama / Drama Klasik
Drama lama adalah drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istanan atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan lain sebagainya.

Macam-Macam Drama Berdasarkan Isi Kandungan Cerita :
1.      Drama Komedi
Drama komedi adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan.
2.      Drama Tragedi
Drama tragedi adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan.
3.      Drama Tragedi Komedi
Drama tragedi-komedi adalah drama yang ada sedih dan ada lucunya.
4.      Opera
Opera adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian.
5.      Lelucon / Dagelan
Lelucon adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka merangsang gelak tawa penonton.
6.      Operet / Operette
Operet adalah opera yang ceritanya lebih pendek.
7.      Pantomim
Pantomim adalah drama yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tubuh atau bahasa isyarat tanpa pembicaraan.
8.      Tablau
Tablau adalah drama yang mirip pantomim yang dibarengi oleh gerak-gerik anggota tubuh dan mimik wajah pelakunya.
9.      Passie
Passie adalah drama yang mengandung unsur agama / relijius.
10.  Wayang
Wayang adalah drama yang pemain dramanya adalah boneka wayang. Dan lain sebagainya.
2.8  Bagian Pembantu Drama
Bagian pembantu drama ada sembilan sebagai berikut:
a.       Babak : bagian terbesar dalam drama. Dalam babak terjadi adegan-adegan dan babak biasanya ditandai dengan naik turunnya layar.
b.      Adegan : bagian babak dan sebuah adegan hanya menggambarkan satu suasana yang merupakan rangkaian suasana sebelum atau sesudahnya. Dalam setiap adegan tidak selalu terjadinya pergantian setting atau dekor.
c.       Prolog : kata pendahuluan sebagai pengantar untuk memberikan gambaran umum tentang pelaku, konflik atau hal yang terjadi dalam drama.
d.      Dialog : percakapan antara dua orang atau lebih. Dialog merupakan hal yang penting dalam drama. Dalam drama harus ada penjiwaan emosi dan juga dialog disampaikan dengan pengucapan kata serta volume suara yang jelas.
e.       Monolog : percakapan seorang pelaku dengan dirinya sendiri. Dengan monolog kita akan mengetahui persoalan yang dialami seorang tokoh.
f.       Epilog : kata penutup yang mengakhiri suatu pementasan drama. Epilog berguna untuk merumuskan isi pokok drama.
g.      Mimik : ialah ekspresi gerak-gerik air muka untuk menggambarkan emosi yang sedang dialami pelaku.
h.      Pantomim : gerak-gerik anggota badan dalam menggambarkan suatu emosi yang sedang dialami pelaku.
i.        Pantomimik : gerak-gerik anggota yang dipadukan dengan ekspresi air muka dalam menggambarkan suatu situasi yang diperankan pelaku (Badrun, 1983:27).

2.9  Akting Yang Baik
Akting tidak hanya berupa dialog saja, tetapi juga berupa gerak. Dialog yang baik ialah dialog yang :
1. terdengar (volume baik)
2. jelas (artikulasi baik)
3. dimengerti (lafal benar)
4. menghayati (sesuai dengan tuntutan/jiwa peran yang ditentukan dalam naskah)
5. Gerak yang balk ialah gerak yang :
6. terlihat (blocking baik)
7. jelas (tidak ragu‑ragu, meyakinkan)
8. dimengerti (sesuai dengan hukum gerak dalam kehidupan)
9. menghayati (sesuai dengan tuntutan/jiwa peran yang ditentukan dalam naskah)
Penjelasan :
1.      Volume suara yang baik ialah suara yang dapat terdengar sampai jauh.
2.      Artikulasi yang baik ialah pengucapan yang jelas. Setiap suku kata terucap dengan jelas dan terang meskipun diucapkan dengan cepat sekali. Jangan terjadi kata‑kata yang diucapkan menjadi tumpang tindih.
3.      Lafal yang benar pengucapan kata yang sesuai dengan hukum pengucapan bahasa yang dipakai . Misalnya berani yang berarti “tidak takut” harus diucapkan berani bukan ber‑ani.
4.      Menghayati atau menjiwai berarti tekanan atau lagu ucapan harus dapat menimbulkan kesan yang sesuai dengan tuntutan peran dalam naskah.
5.      Blocking ialah penempatan pemain di panggung, diusahakan antara pemain yang satu dengan yang lainnya tidak saling menutupi sehingga penonton tidak dapat melihat pemain yang ditutupi.
6.      Pemain lebih baik terlihat sebagian besar bagian depan tubuh daripada terlihat sebagian besar belakang tubuh. Hal ini dapat diatur dengan patokan sebagai berikut:
a. Kalau berdiri menghadap ke kanan, maka kaki kanan sebaiknya berada didepan.
b. Kalau berdiri menghadap ke kiri, maka kaki kiri sebaiknya berada didepan.
c. Harus diatur pula balance para pemain di panggung. Jangan sampai seluruh pemain mengelompok di satu tempat. Dalam hal mengatur balance, komposisinya:
· Bagian kanan lebih berat daripada kiri
· Bagian depan lebih berat daripada belakang
· Yang tinggi lebih berat daripada yang rendah
· Yang lebar lebih berat daripada yang sempit
· Yang terang lebih berat daripada yang gelap
· Menghadap lebih berat daripada yang membelakangi
Komposisi diatur tidak hanya bertujuan untuk enak dilihat tetapi juga untuk mewarnai sesuai adegan yang berlangsung; Jelas, tidak ragu‑ragu, meyakinkan, mempunyai pengertian bahwa gerak yang dilakukan jangan setengah‑setengah bahkan jangan sampai berlebihan. Kalau ragu‑ragu terkesan kaku sedangkan kalau berlebihan terkesan over acting. Dimengerti, berarti apa yang kita wujudkan dalam bentuk gerak tidak menyimpang dari hukum gerak dalam kehidupan. Misalnya bila mengangkat barang yang berat dengan tangan kanan, maka tubuh kita akan miring ke kiri, dsb. Menghayati berarti gerak‑gerak anggota tubuh maupun gerak wajah harus sesuai tuntutan peran dalam naskah, termasuk pula bentuk dan usia.

2.10  Perkembangan Drama di Indonesia
Perkembangan drama di Indonesia tak sesemarak dan setua perkembangan puisi dan prosa. Kalau puisi dan prosa mengenal puisi lama dan porsa lama, tak demikianlah dengan drama. Genre sastra drama di Indonesia benar-benar baru, seiring dengan perkembangan pendidikan di Indonesia, muncul pada tahun 1900-an.
Sastra drama di Indonesia ditulis pada awal abad 19, tepatnya tahun 1901, oleh seorang peranakan Belanda bernama F. Wiggers, berupa sebuah drama satu babak berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Untuk selanjutnya bermunculanlah naskah-naskah drama dalam bahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh para pengarang peranakan Belanda dan atau Tionghoa.
Selanjutnya, anak Indonesia sendiri yang mulai menulis drama. Berikut ini Anda akan disuguhi beberapa dramawan Indonesia dari mulai Rustam Effendi (lahir 1903) sampai dengan Hamdy Salad (lahir 1961).
             Tabel I.  Darmawan Indonesia
Tahun Kelahiran Pengarang
Pengarang
Judul
1903
1905
1906
1916
1918
1920
1921
1926
1928
1933
1934
1935
1937
1938
1938
1941
1942
1943
1944
1945
1946
1949
1955
1959
1961
Rustam Effendi
Sanusi Pane
Abu Hanifah
Trisno Sumarjo
D. Jayakusuma
Utuy Tatang Sontani
Usmar Ismail
Asrul Sani
Mohammad
Diponegoro
Misbach Yusa Biran
D. Sularto
Rahman Age
Motinggo Busye
Ajip Rosidi
Saini KM
Arifin C. Noer
Vredi Kasram Marta
Aspar Paturusi
Putu Wijaya
Wisran Hadi
Akhudiat
N. Riantiarno
Yono Daryono
Arthur S. Nalan
Hamdy Salad

Bebasari
Kertajaya
Taufan di Atas Asia
Tumbang
Rama Bargawa
Bunga Rumah Makan
Leburan Seniman
Mahkamah
Iblis
Bung Besar
Domba-domba
Revolusi
Pembenci Matahari
Malam Jahanam
Masyitoh
Egon
Dalam Bayangan
Tuhan atawa Interogasi
Syeh Siti Jenar
Perahu Nuh II
Dam
Cindua Mato
Jaka Tarub
Sampek Engtay
Ronggeng-ronggeng
Syair Ikan Tongkol
Perempuan dalam Kereta

2.11  Manfaat Drama
Banyak hal yang dapat kita raih dalam bermain drama, baik fisik maupun psikis. Pembicaraan ini tidak akan memisahkan secara rinci antara bermain drama dan teater, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Di bawah ini akan diuraikan manfaat bermain drama atau teater.
a.       Meningkatkan pemahaman
Meningkatkan pemahaman kita terhadap fenomena dan kejadian-kejadian yang sering kita saksikan dan kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kita menyadari bahwa memahami orang lain merupakan pekerjaan yang paling sulit dan membutuhkan waktu. Untuk itu drama/teater merupakan salah satu cara untuk memecahkannya. Dengan bermain drama atau berteater kita selalu berkumpul dengan orang-orang yang sama sekali berbeda dengan diri kita. Dari segi individual differences inilah kita dituntut untuk memahami orang lain. Pemahaman kita kepada orang lain tidak hanya dilihat dari orangnya, melainkan keseluruhan orang tersebut. Meliputi sifat, watak, cara berbicara, cara bertindak (tingkah laku), cara merespon suatu masalah, merupakan keadaan yang harus kita pahami dari orang tersebut.
b.      Mempertajam kepekaan emosi
Drama melatih kita untuk menahan rasa, melatih kepekaan  rasa, menumbuhkan kepekaan, dan mempertajam emosi kita. Rasa kadang kala tidak perlu dirasakan, karena sudah ada dalam diri kita. Perlu diingat bahwa rasa, sebagai sesuatu yang khas, perlu dipupuk agar semakin tajam. Apa yang ada dihadapan kita perlu adanya rasa. Kalau tidak, maka segala sesuatu yang ada akan kita anggap wajar saja. Padahal sebenarnya tidak demikian. Kita semakin peka terhadap sesuatu tentu saja melalui latihan yang lebih. Rasa indah, seimbang, tidak cocok, tidak asyik, tidak mesra adalah bagian dari emosi. Oleh karena itu, perasaan perlu ditingkatkan untuk mencapai kepuasan batin.
Drama menyajikan semua itu. Peka panggung, peka kesalahan, peka keindahan, peka suara atau musik, peka lakuan yang tidak enak dan enak, semua berasal dari rasa. Semakin kita perasa semakin halus pula tanggapan kita terhadap sesuatu yang kita hadapi.
c.       Pengembangan ujar
Naskah drama sebagai genre sastra, hampir seluruhnya berisi cakapan. Cakapan secara tepat, intonasi, maka ujar kita semakin jelas dan mudah dipahami oleh lawan bicara. Kejelasan tersebut dapat membantu pendengar untuk mencerna makna yang ada. Harus ada kata yang ditekankan supaya memudahkan pemaknaan. Dimana kita memberi koma (,) dan titik (.). hampir keseluruhan konjungsi harus diperhatikan selam kita berlatih membaca dalam bermain drama. Suara yang tidak jelas dapat berpengaruh pada pendengar dan lebih-lebih pemaknaan pendengar atau penonton. Di sini perlu adanya  kekuatan vokal dan warna vokal yang berbeda dalam setiap situasi. Tidak semua situasi memerlukan vokal yang sama. Tidak semua kalimat harus ditekan melainkan pasti ada yang dipentingkan. Drama memberi semua kemungkinan ini. Sebagai salah satu karya sastra yang harus dipentaskan dan berisi lakuan serta ucapan.
d.      Apresiasi dramatik.
Apresiasi dramatik dikatakan sebagai pemahaman drama. Realisasi pemahaman ini adalah dengan pernyataan baik dan tidak baik. Kita bisa memberi pernyataan tersebut jika kita tidak pernah mengenal drama. Semakin sering kita menonton pementasan drama semakin luas pula pemahaman kita terhadap drama atau teater. Karena itulah, kita dituntut untuk lebih meningkatkan kecintaan kita terhadap drama. Hal ini dilakukan dengan tujuan memperoleh wawasan dramatik yang lebih baik.
e.       Pembentukan Postur Tubuh
Postur berkaitan erat dengan latihan bermain drama, latihan ini dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu dasar dan lanjut. Yang termasuk latihan dasar ini adalah latihan vokal dan latihan olah tubuh. Yang terkait dengan postur adalah olah tubuh. Kelenturan tubuh diperlukan dalam bermain drama, sebab bermain drama memerlukan gerak-gerik. Gerak-gerik inilah yang nantinya dapat membentuk postur tubuh kita sedemikian rupa.
f.       Berkelompok (Bersosialisasi)
Bermain drama tidak mungkin dilaksanakan sendirian, kecuali monoplay. Bermain drama, secara umum, dilakukan secara berkelompok atau group. Betapa sulitnya mengatur kelompok sudah kita pahami bersama, bagaimana kita bisa hidup secara berkelompok adalah bergantung pada diri kita sendiri. Masing-masing orang dalam kelompok drama memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama. Tak ada yang lebih dan tak ada yang kurang, semuanya sama rendah dan sama tinggi, sama-sama penting. Untuk itu, drama selalu menekankan pada sikap pemahaman kepada orang lain  dan lingkungannya. Kelompok drama harus merupakan satu kesatuan  yang utuh. Semua unsur dalam drama tidak ada yang tidak penting, melainkan semuanya penting. Rasa kebersamaan, memiliki, dan menjaga keharmonisan kelompok merupakan tanggung jawab dan tugas semua anggota kelompok itu. Bukan hanya tugas dan tanggung jawab ketua kelompok. Baik buruknya pementasan drama tidak akan dinilai dari salah seorang anggota kelompok tetapi semua orang yang terlibat dalam pementasan. Oleh karena itu, perlu adanya kekompakan, kebersamaan, dan kesatuan serta keutuhan.
g.      Menyalurkan hobi
Bermain drama dapat juga dikatakan sebagai penyalur hobi. Hobi yang berkaitan dengan sastra secara umum dan drama khususnya. Dalam drama terdapat unsur-unsur sastra. Drama sebagai seni campuran (sastra, tari, arsitektur).
  
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
-          Drama adalah satu bentuk lakon seni yang bercerita lewat percakapan dan action tokoh-tokohnya. Akan tetapi, percakapan atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai pengertian action.
-          Sebuah buku yang berjudul A History of the theatre menunjukan pada kita bahwa pemujaan pada Dionisus, yang kelak diubah kedalam festival drama di Yunani, berasal dari Mesir Kuno. Tek Piramid yang bertanggal 4000SM. Adalah naskah Abydos Passion Play yang terkenal.
-          Unsur – unsur Drama
-          Tema
-          Alur
-          Tokoh
-          Latar
-          Amanat
-          Bahasa
-          Dialog
-          Karakter
-          Interpretasi

-          Manfaat drama/teater :
ü  Menyalurkan hobi
ü  Berkelompok (Bersosialisasi)
ü  Pembentukan Postur Tubuh
ü  Apresiasi dramatik.
ü  Pengembangan ujar
ü  Mempertajam kepekaan emosi
ü  Meningkatkan pemahaman

3.2  Saran
-          Hendaknya lebih banyak lagi pihak-pihak yang dapat menambah drama sebagai salah satu wacana dalam bidang seni, agar mahasiswa mendapat bimbingan dan lebih dapat mengekspresikan bakatnya.
-          Hendaknya pihak yang berwenang dapat mengadakan pagelaran /  pertunjukan drama, agar mahasiswa lebih matang dalam mengembangkan bakat seni dramanya.


DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1995. Stilistika. Semarang: IKIP Semarang Press.
Anirun, Suyatna. 1979. Tehnik Pemeranan. Diktat. Bandung: Studiklub Teater Bandung.
Atmojo, Kemala. 1992. "Saya selalu Takut". Wawancara dengan Arifin C. Noer. Matra.   No. 71.
Bachmid, Talha. 1990. Semangat Derison dalam Drama Kapai Kontemporer: Telaah        Bandingan Dua Lakon Kapai Kapai Karya Arifin C. Noer dan Badak Badak Karya            Eugene lonesco. Disertasi pada Program Pascasarjana FSUI. Harymawan, RMA.1988.           Dramaturgi. Bandung: Rosda.
Jassin, H.B. 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.
Moody, H.L.B. 1971. The Teaching of Literature. London: Longman Group LTD.
Padmodarmaya, Pramana. 1990. Pendidikan Seni Teater Buku Guru Sekolah Dasar .         Jakarta: Depdikbud.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan             Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Rendra. 1982. Tentang Bermain Drama. Jakarta Pustaka Jaya.
Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung : Gunung Larang.
 _________. 1996. Peristiwa Teater. Bandung: Institut Teknologi Bandung
 _________. Tanpa Tahun. “Analisis Naskah Drama.” Kertas Kerja. Satoto, Sudiro. 1990.            “Drama-Drama Arifin C. Noer: Proses Penciptaan Penyajian, dan Teknik     Pemahamannya.” Makalah pada Pertemuan Ilmiah Nasional III HISKI di Malang 26-     28 November 1990. S. Effendi. 2002. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Pustaka            Jaya.
Stanislavski. 1980. Persiapan Seorang Aktor. Terjemahan Asrul Sani. Jakarta: Pustaka
Soelarto, B. 1985. Lima Drama. Jakarta: Gunung Agung. Stanislavski. 1980. Persiapan    Seorang Aktor. Terjemahan Asrul Sani. Jakarta: Pustaka Jaya .
Sudjiman, Panuti. (Peny). 1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sumiyadi. 1992. “Drama sebagai Seni Sastra dan Pertunjukan” dalam Mimbar Pendidikan            Bahasa dan Seni No. XVIII.
Sylado, Remy. 1996. “Menulis Naskah Drama dan Permasalahan Sekitarnya”. Pikiran Rakyat,      10 September.
Taylor, Loren E. 1988. Drama dan Teater Remaja. Terjemahan A.J. Sutrisman.Yogyakarta :         Hanindita.
Zaidan, Abdul Razak. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka
Internet: 
http://www.xpresisastra.blogspot.com (diakses 14 Desember 2015).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar